Kadang ketika saya bosan bersamanya saya mengingat kembali alasan pertama kali saya menyukai dia. Saya mengingat keputusan saya memilih dia. Saya berharap cara itu akan selalu berhasil mengingatkan saya betapa saya menyayanginya. Fakta bahwa saya terjebak dalam hubungan yang stagnan membawa saya lebih banyak berpikir. Apakah saya ingin bersama dia selamanya? Akankah saya bahagia? Akankah saya banyak tertawa bersamanya sekarang dan nanti? Apakah saya bisa tetap menjadi diri saya sendiri setelah bersamanya nanti? Entahlah. Apa saya terlalu muluk mengharapkan dia menyelamatkan saya dari rasa bosan dan lelah ini? Apa terlalu muluk saya mengharapkan dia menolong saya untuk kembali padanya lagi? Kembali merasakan perasaan menggebu-gebu yang saya rasakan waktu pertama kali saya memutuskan menyayanginya?
Berbulan-bulan lalu yang saya pikirkan hanya kebahagiaannya. Kebahagiaannya adalah prioritas saya. Tapi sekarang mengapa saya mulai berpikir tentang kebahagiaan saya? Bukankah waktu itu saya berkeyakinan melihat dia bahagia adalah kebahagiaan saya juga? Belakangan ini saya makin bertanya-tanya tapi saya tidak memiliki jawaban itu. Dan ketika saya mulai merengek lebih banyak perhatian dari dia sebagai cara saya untuk menemukan rasa sayang itu lagi, dia malah berkata saya manja, saya tidak dewasa, saya kekanak-kanakan, saya penuh dengan drama. Padahal saya sedang berjuang mati-matian menemukan rasa itu lagi. Saya benci menjadi dewasa versi dia. Saya terkadang jadi berpikiran kaku dan mulai seperti robot yang hanya menjalani hubungan ini tanpa ada lagi minat. Karena hubungan ini mulai seperti rutinitas harian yang mau tidak mau, senang tidak senang harus dikerjakan. Saya mulai menjalani hubungan ini tanpa gairah. Saya tidak ingin hubungan seperti ini. Saya takut akan menyerah. Tolong saya sayang?